Setelah Suharso menyelesaikan pendidikan AMS
(setingkat Sekolah Menengah Umum) Bagian B di Yogyakarta, ia memasuki
Nederlandsch Indische Artsen School (sekolah dokter) di Surabaya. Pada tahun
1939, ia lulus dan bekerja sebagai asisten di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Surabaya. Karena bertengkar dengan seorang suster bangsa Belanda, ia
dipindahkan ke Sambas, Kalimantan Barat. Saat Jepang mendarat di Indonesia, ia
tetap berada di daerah Kalimantan. Sebagai seorang terpelajar, Suharso masuk
dalam daftar tokoh di Kalimantan yang akan dibunuh Jepang karena dianggap
berbahaya.
Mengetahui hal itu, Suharso segera berangkat ke Jawa
dan bekerja di rumah sakit di Jebres, Solo. Beliau tetap menjadi incaran
Jepang, tetapi berhasil selamat. Sesudah Indonesia merdeka, ia menyumbangkan
tenaga membantu perjuangan dengan merawat para korban pertempuran. Diantara
para korban itu banyak yang kehilangan tangan atau kaki. Suharso merasa iba
melihatnya dan tidak ingin mereka kehilangan semangat hidup, terlebih mereka
telah berjuang demi bangsa dan negara. Beliau kemudian mencoba membuat tangan
dan kaki buatan.
Usaha beliau mendapat perhatian pemerintah sehingga
pada tahun 1950 ditugaskan ke Inggris untuk mendalami ilmu prothese (anggota
tubuh buatan). Sekembalinya dari lnggris, ia mendirikan Pusat Rehabilitasi
(Rehabilitation Center) bagi para pasien yang kehilangan anggota tubuh di Solo.
Pada tanggal 27 Pebruari 1971 Prof. Dr. Suharso meninggal dunia dan dimakamkan
di Kelurahan Seboto, Kecamatan Ampel, Kabupaten Boyolali.
- Tempat/Tgl.
Lahir : Boyolali,13 Mei 1912
- Tempat/Tgl.
Wafat : Solo,27 Februari 1971
- SK Presiden
: Keppres No. 088/TK/1973, Tgl. 6 November 1973
- Gelar
: Pahlawan
Nasional
Sebagai seorang dokter, Suharso telah membantu banyak
prajurit TNI yang harus kehilangan anggota tubuh akibat pertempuran. Sebagai
penghormatan atas jasanya, nama dr. Suharso antara lain diabadikan sebagai
kapal rumah sakit terbaru milik TNI AL.
Cut Nyak Meutia , Pejuang perempuan kelahiran Perlak, Aceh, ini
adalah seorang pemberani yang hingga titik darah penghabisan memegang prinsip
tak akan mau tunduk kepada kolonial. Beliau lahir tiga tahun sebelum Perang
Aceh berkecamuk sehingga besar dalam suasana gelora semangat perjuangan. Ketika
sudah beranjak dewasa, ia menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang
lebih terkenal dengan nama Teuku Cik Tunong.
Perang terhadap pendudukãn Belanda terus berkobar. Cut
Nyak Meutia bersama Teuku Cik Tunong langsung memimpin perang di daerah Pasai.
Berkali-kali pasukan beliau berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Di lain
waktu, mereka juga pernah menyerang langsung ke markas pasukan Belanda di Idie.
Namun naas bagi Teuku Cik Tunong. Suatu hari di bulan Mei tahun 1905, Teuku Cik
Tunong berhasil ditangkap pasukan Belanda. Ia kemudian dijatuhi hukuman tembak.
Berselang beberapa waktu setelah kematian suaminya, Cut Nyak Meutia menikah
lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk dan dipesan suami pertamanya
sebelum menjalani hukuman tembak.
Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan
pendudukan Belanda. Di lain pihak, pengepungan pasukan Belanda semakin ketat.
Pasukan Cut Meutia semakin tertekan mundur, masuk lebih jauh ke pedalaman rimba
Pasai. Pada satu pertempuran di Paya Cicem pada bulan September tahun 1910,
Pang Nangru gugur di tangan pasukan Belanda. Cut Nyak Meutia sendiri masih
dapat meloloskan diri. Kondisi yang sudah mulai terdesak membuat beberapa
anggota pasukan Cut Meutia menyerah. Namun, beliau bersikeras terus berjuang di
pedalaman rimba Pasai bersama anaknya, Raja Sabil, yang masih berumur sebelas
tahun.
Upaya dan bujukan dari keluarga atas permintaan
Belanda pun tak beliau hiraukan. Dalam suatu pengepungan pada tanggal 24
Oktober 1910, Cut Nyak Meutia berhasil ditemukan. Pasukan Belanda yang
bersenjata Iengkap tidak membuat beliau gentar. Dengan sebilah rencong di
tangan, beliau tetap melakukan perlawanan. Namun, tiga buah tembakan pasukan musuh
menghentikan perlawanan Cut Nyak Meutia. Meski demikian, semangat perjuangan
dan nama beliau tetap harum hingga kini.
- Tempat/Tgl.
Lahir: Perlak, 1870 (tanggal dan bulan tidak diketahui)
- Tempat/TgI.
Wafat: Aceh, 24 Oktober 1910
- SK Presiden:
Keppres No.107 Tahun 1964. Tgl 2 Mei 1964
- Gelar: Pahlawan
Nasional
Cut Nyak Meutia pernah menegur keras Cut
Nyak Dien saat
Teuku Umar bergabung dengan Belanda karena tidak mengetahui bahwa itu adalah
bagian dan taktik Teuku
Umar.
Dewi Sartika merupakan keturunan keluarga bangsawan. Ayah
beliau adalah seorang patih di Bandung yang dibuang Belanda ke Ternate karena
dianggap memberontak. Akibatnya, Dewi Sartika tidak dapat melanjutkan
pendidikan di sekolah Belanda. Kiprah di dunia pendidikan beliau mulai sejak
1902 dengan mengajarkan membaca, menulis, memasak, dan menjahit bagi kaum
perempuan di sekitar Bandung. Pada 16 Juli 1904, Dewi Sartika mendirikan Sakola
Istri atau Sekolah Perempuan. Tahun 1914, Sakola Istri diubah namanya menjadi
Sakola Kautamaan Istri atau Sekolah Keutamaan Perempuan. Pada tahun 1929 Sakola
Kautamaan Isteri kembali berubah nama menjadi Sakola Raden Dewi. Selain di
Kabupaten Pasundan, Sakola Kautamaan Istri sempat pula menyebar ke luar pulau
Jawa.
Pemerintah Hindia Belanda pada 16 Januari 1939 memberi
bintang jasa kepada Dewi
Sartika atas
Jasanya memajukan pendidikan kaum perempuan . Pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1966 mengakui Raden Dewi Sartika sebagai pahlawan nasional. Upaya beliau memajukan perempuan Indonesia menuju
sebuah pandangan jauh ke depan yang kelak juga menjadi modal dalam perjuangan
membangun bangsa. Dewi Sartika wafat saat sedang mengungsi di Desa Rahayu,
Kecamatan Cineam,Tasikmalaya. Ketika itu, wilayah Republik Indonesia tengah
diserang oleh tentara NICA – Belanda pada peristiwa Agresi Militer I Belanda
tahun 1947.
Tempat/Tgl.
Lahir : Bandung, 4 Desember 1884
Tempat/Tgl. Wafat : Cineam, 11 September 1947
SK Presiden : Keppres No. 252 Tahun 1966, Tgl. 1 Desember 1966
Gelar : Pahlawan Nasional
Tempat/Tgl. Wafat : Cineam, 11 September 1947
SK Presiden : Keppres No. 252 Tahun 1966, Tgl. 1 Desember 1966
Gelar : Pahlawan Nasional
Di daerah, Jawa Barat, untuk mengenang Dewi Sartika
ada sebuah tembang yang sering dinyanyikan anak anak sekolah, yaitu Kawih Dewi
Sartika
Masa
kecil Jenderal
Sudirmandibesarkan
dalam lingkungan keluarga sederhana. Ayahnya bernama Karsid Kartowirodji dan
ibunya bernama Siyem. Soedirman mendapatkan pendidikan formal dari Sekolah
Taman Siswa, kemudian melanjutkan ke HIK (sekolah guru)Muhammadiyah, Surakarta,
tetapi tidak sampai tamat. Sudirman saat itu juga giat di organisasi Pramuka
Hizbul Wathan. Beliau kemudian menjadi guru di sekolah HIS Muhammadiyah di
Cilacap. Pada masa pendudukan Jepang, ia masuk menjadi anggota Tentara Pembela Tanah
Air (PETA) di Bogor dan menjadi komandan batalyon PETA di Kroya. Sudirman
sering membela rakyat dari kekejaman Jepang sehingga pernah hampir dibunuh
Jepang.
Setelah
proklamasi, Sudirman bersama pasukan PETA dan pejuang lainnya merebut senjata
tentara Jepang di Banyumas.Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia
diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat kolonel. Melalui
Konferensi TKR tanggal 12 November 1945, Sudirman terpilih menjadi Panglima
Besar TKR/Panglima Angkatan Perang RI. Kedatangan pasukan Sekutu yang ternyata
juga diikuti tentara NICA Belanda menyebabkan timbulnya pertempuran dengan
TKR di berbagai tempat. Salah satu pertempuran besar terjadi di Ambarawa.
Sudirman memimpin langsung pasukan TKR menggempur posisi pasukan Inggris dan
Belanda selama lima hari, mulai tanggal 12 Desember 1945. Pertempuran yang
dikenal sebagai Palagan Ambarawa ini berhasil memukul mundur pasukan Sekutu ke
Semarang.
Saat terjadi
Agresi Militer II oleh Belanda(19 Desember 1948),Yogyakarta sebagai
ibukota saat itu pun jatuh ke tangan musuh. Para pemimpin bangsa, seperti
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditawan Belanda. Sudirman
tetap berjuang dengan cara bergerilya, meskipun saat itu sudah menderita sakit
TBC yang parah dan hanya bernapas dengan satu paru saja. Presiden Sukarno pun
sebenarnya sudah meminta beliau untuk tetap di Yogya dan berobat, tetapi
melihat keteguhan hati Jenderal Sudirman maka Bung Karno pun menyetujui
keputusan beliau untuk memimpin langsung gerilya. Perjuangan dengan senjata dan
di meja perundingan memaksa Belanda ke perundingan. Setelah Perundingan
Roem-Royen yang menetapkan gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia,
Jenderal Sudirman kembali ke Yogyakarta dengan disambut Bung Karno, Bung
Hatta, dan Sri Sultan HB IX dalam suasana penuh keharuan. Saat itu,
Jenderal Sudirman terlihat sangat kurus dan lusuh. Dalam perundingan KMB
pada Desember 1949. Belanda kemudian mengakui kedaulatan Indonesia.
- Tempat/Tgl. Lahir
: Purbalingga, 24 Januari 1916
- Tempat/Tgl. Wafat
: Magelang, 29 Januari 1950
- SK Presiden :
Keppres No. 015/TK/1970, Tgl. 20 Mei 1970
- Gelar : Pahlawan Nasional
Jenderal
Sudirman lalu kembali ke Jakarta bersama Presiden Sukarno, dan Wakil Presiden
Muhammad Hatta. Pada tangal 29 Januari 1950, Jenderal Sudirman yang dikenal
sebagai pribadi yang teguh pada prinsip dan keyakinan serta selalu
mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadinya
meninggal dunia di Magelang, Jawa Tengah, karena sakit yang dideritanya.
Jenderal Sudirman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara di Semaki, Yogyakarta.
Pada tahun 1997, Jenderal Sudirman mendapat gelar sebagai Jenderal Besar
Anumerta dengan pangkat bintang lima. Saat hendak bergerilya, Bu Dirman
memberikan perhiasannya sebagai bekal Jenderal Sudirman untuk berjuang. Beliau
ikhlas melepaskan kepergian suaminya berjuang, meski dalam keadaan sakit
Posting Komentar